Bagi politisi, TV ibarat pisau bermata ganda. Ia bisa jadi berkah, bisa pula jadi malapetaka. Berita TV soal politisi bisa memunculkan simpati, respek, bahkan dukungan, tapi bisa juga berbuah cacian dan antipati. Tergantung bagaimana
TV menyajikan politisi pada pemirsa. Yang pasti, politisi dan TV saling membutuhkan. Politisi butuh publikasi TV, sementara TV butuh berita politisi. Simbiosis mutualisme ini kian terasa dalam era revolusi media dewasa ini karena survei menunjukkan mayoritas publik, yakni sekitar 87% mendapatkan informasi politik dari TV. Bisa dipahami, kultur masyarakat Indonesia masih didominasi budaya menonton, bukan membaca. Memori publik jelas lebih banyak dipengaruhi berita atau iklan TV, ketimbang radio atau surat kabar.
Pengaruh TV maha-dahsyat. Daya penetrasinya mampu menembus ruang domestik keluarga. Berkat TV, pemirsa lebih mengenal persis siapa
Jokowi dan siapa Anas Urbaningrum, misalnya, ketimbang tetangga di depan atau samping rumah. Karena TV, politisi bisa dikenal, disukai atau dibenci, dipilih atau ditentang. Popularitas adalah jalan menuju elektabilitas. Tanpa popularitas, elektabilitas hanya mimpi. Dan untuk populer, “serangan udara” via TV adalah media paling efektif untuk mendongkrak popularitas politisi.
Michael Baumann menyebut fenomena ini sebagai “
telepolitics”, yakni suatu fenomena baru yang menandai bergesernya peran parpol dan bangkitnya dominasi media massa, terutama TV, dalam menjangkau pemilih.
Dalam kasus politik nasional, misalnya, survei elektabilitas Jokowi untuk capres Indonesia 2014 tampak terus menanjak naik. Ternyata itu sangat dipengaruhi oleh publikasi TV. Atau sebaliknya, survei elektabilitas Partai Demokrat yang terus melorot, juga ternyata tak lepas dari kasus-kasus korupsi yang melibatkan beberapa pejabat terasnya seperti Anas Urbaningrum, Nazarudin, Angelina Sondakh, Andi Mallarangeng. Akibat citra buruk Partai Demokrat yang dikonstruksi TV, akhirnya nasib politik kurang menyenangkan juga dialaminya dalam Pilkada. Dari 8 pilkada yang digelar belakangan ini (
DKI Jakarta, Kalbar, Sumut, Jabar, NTT, Papua, Babel, Sulsel),
Demokrat hanya unggul di
Papua. Selain karena calon yang diusung, yakni Lukas Enembe, adalah figur yang sudah dikenal luas warga Papua dan pernah maju dalam kontes elektoral sebelumnya, diduga kuat juga karena pemberitaan TV yang tidak mudah diakses warga Papua. Hal ini membantu
mengurangi kesan buruk warga Papua terhadap Partai Demokrat. Kamera TV memberi pesan pada politisi, TV bisa mengonstruksi citra menjadi realitas.
Karena itu,
manfaatkan layar TV secara cerdas-bijak untuk mengapitalisasi keuntungan politik. Politik hari ini adalah politik yang tidak bisa tidak, mesti melihat TV sebagai sarana penting untuk memenangkan kontestasi demokrasi. Akan makin maksimal jika “serangan udara” via TV dikombinasikan dengan “blusukan konkrit” di lapangan. Dampak politiknya, akan sangat…sangat dahsyat.
Yohanis Ansy Lema (Dosen FISIP Universitas Nasional dan Presenter TVRI)
sumber : atadikenadonara