Dikatakan dalam Kitab Keluaran “
Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat” (lih. Kel 20:8; bdk Ul 5:12; Yeh 20:20). Yesus sendiri menyatakan “Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya.” (Mat 5:17). Kalau dalam PL dikatakan bahwa kita harus menguduskan hari Sabat dan Yesus tidak datang untuk meniadakan hukum Taurat, maka
mengapa sekarang umat Kristen secara umum beribadah pada hari Minggu?
Tuhan memerintahkan hari Sabat sebagai hari Tuhan
Sabat (Ibrani: shabbath) adalah dimulai dari hari Jumat sore (matahari terbenam) sampai Sabtu sore (matahari terbenam). Dan secara prinsip, Allah menginginkan manusia untuk menyembah-Nya secara khusus, karena Allah adalah Pencipta dan Pemelihara kehidupan. Sabat, hari ke tujuh dalam penciptaan, adalah hari khusus yang diberkati dan dikuduskan oleh Allah, karena Allah berhenti dari segala pekerjaan ciptaan yang telah dibuat-Nya (lih. Kej 2:2-3; Kel 20:11). Karena Sabat adalah hari yang dikuduskan oleh Allah, maka Allah melarang umat-Nya untuk bekerja pada hari Sabat (Kel 20:9-11). Sabat merupakan tanda peringatan antara manusia dengan Allah dan menjadikannya perjanjian kekal (lih. Kel 31:13; Kel 31:16; Kel 31:17). Lebih lanjut Allah juga memerintahkan untuk memelihara hari Sabat (Im 19:3, Im 19:30) dan yang melanggar hari Sabat dihukum mati (lih. Kel 31:14; Kel 31:15; Bil 15:32-36). Dari ayat-ayat tersebut di atas, dan masih banyak ayat-ayat yang lain, hari Sabat memang ditentukan oleh Tuhan sendiri yang harus dijalankan oleh umat-Nya secara turun-temurun.
Perjanjian Baru menggenapi dan menyempurnakan Perjanjian Lama
Kita masih mengingat bahwa Yesus sendiri beberapa kali berdebat dengan kaum Farisi yang memberikan beban yang tak tertanggungkan kepada manusia (Mat 23:4) dan kemudian Yesus menyatakan bahwa hari Sabat dibuat untuk manusia, bukan sebaliknya (Mrk 2:27). Yesus sendiri menyembuhkan orang pada hari Sabat dan membela muridnya ketika mereka mengambil makanan di ladang, dan Yesus mengutip tentang apa yang dilakukan oleh Daud (Mat 12:3; Mrk 2:25; Luk 6:3; Luk 14:5). Lebih lanjut, Rasul Paulus menegaskan bahwa hari Sabat tidak mengikat umat Kristen (Kol 2:16; Gal 4:9-10; Rom 14:5-6).
Kebangkitan Tuhan adalah menjadi pokok iman Kristen dan kebangkitan Yesus terjadi pada hari Minggu, yang disebut sebagai hari pertama di dalam minggu (Luk 24:1). Setelah kebangkitan-Nya, Tuhan Yesus menampakkan diri dalam perjalanan ke Emmaus, dan melakukan pemecahan roti di depan murid-murid-Nya pada hari kebangkitan-Nya, yaitu hari Minggu, hari pertama minggu itu (Luk 24:13-35, Luk 24:1). Jemaat Kristen perdana yang non Yahudi merayakan hari Tuhan pada hari Minggu (Kis 20:7; 1 Kor 16:2). Selanjutnya, maka perayaan Hari Tuhan bagi umat Kristen adalah hari Minggu yang dikatakan sebagai hari pertama di dalam minggu, dan bukan hari terakhir dalam minggu (bukan Sabat).
Dasar dari Kitab Suci tentang perayaan Hari Minggu sebagai Hari Tuhan
Berikut ini adalah ayat-ayat Kitab Suci yang menjadi dasar ajaran Gereja untuk merayakan Hari Tuhan pada hari Minggu, sebagaimana dipaparkan oleh Paus Beato Yohanes Paulus II dalam Surat Apostoliknya, Dies Domini:
“20. …. Kebangkitan Yesus Kristus dari kematian terjadi pada “hari pertama setelah hari Sabat” (Mrk 16:2, 9; Luk 24:1; Yoh 20:1). Pada hari yang sama, Tuhan yang bangkit menampakkan diri kepada dua orang murid ke Emaus (lih. Luk 24:13-35) dan kepada kesebelas Rasul yang berkumpul bersama (cf. Luk 24:36; Yoh 20:19). Seminggu kemudian -seperti yang dihitung oleh Injil Yohanes (lih. Yoh 20:26)- para murid berkumpul kembali sekali lagi, ketika Yesus menampakkan diri kepada mereka dan membuat-Nya dikenali oleh Tomas, dengan memperlihatkan kepadanya tanda-tanda dari Sengsara-Nya. Hari Pentakosta -hari pertama dari delapan minggu setelah Paska Yahudi (lih. Kis 2:1), ketika janji yang dibuat oleh Yesus kepada para Rasul setelah Kebangkitan-Nya digenapi dengan pencurahan Roh Kudus (lih. Luk 24:49; Kis1:4-5)- juga terjadi pada hari Minggu. Ini adalah hari proklamasi yang pertama dan Baptisan yang pertama: Petrus mengumumkan kepada orang-orang yang berkerumun bahwa Kristus telah bangkit dan “mereka yang menerima sabda-Nya dibaptis” (Kis 2:41). Ini adalah hari epifani Gereja, dinyatakan sebagai bangsa yang di dalamnya anak-anak Allah yang terpencar dikumpulkan dalam kesatuan, melampaui semua perbedaan mereka.
21. Adalah untuk alasan ini maka sejak dari zaman para Rasul, “hari pertama setelah hari Sabat”, hari pertama minggu, mulai membentuk ritme kehidupan bagi para rasul Kristus (lih. 1Kor 16:2). “Hari pertama setelah hari Sabat” adalah juga hari di mana jemaat di Troas berkumpul “untuk memecahkan roti”, ketika Paulus mengucapkan perpisahan dan secara mukjizat menghidupkan Eutikhus kembali (lih. Kis 20:7-12). Kitab Wahyu memberikan bukti praktek untuk menyebut hari pertama minggu sebagai “Hari Tuhan” (Why 1:10). Ini kini menjadi sebuah ciri yang membedakan umat Kristen dari dunia di sekitar mereka… Dan ketika umat Kristen menyebut “Hari Tuhan”, mereka memberikan kepada istilah ini arti yang penuh dari pemberitaan Paskah: “Yesus Kristus adalah Tuhan” (Flp 2:11; lih. Kis 2:36; 1Kor 12:3). Maka Kristus diberi gelar yang sama, yang oleh kitab Septuaginta biasanya digunakan untuk menerjemahkan apa yang dalam wahyu Perjanjian Lama adalah nama Tuhan yang melampaui segala ucapan: YHWH.
22. Di masa Kristen awal, ritme mingguan dari hari-hari, umumnya tidak menjadi bagian kehidupan di kawasan di mana Injil tersebar, dan hari-hari perayaan kalender Yunani dan Romawi tidak bertepatan dengan hari Minggu-nya umat Kristen. Maka, untuk umat Kristen, adalah sangat sulit untuk melaksanakan/ menerapkan Hari Tuhan pada suatu hari tertentu dalam setiap minggu. Hal ini menjelaskan mengapa umat beriman harus berkumpul sebelum matahari terbit. Namun demikian kesetiaan terhadap ritme mingguan kemudian menjadi norma, sebab hal itu berdasarkan atas Perjanjian Baru dan berkaitan dengan wahyu Perjanjian Lama. Ini sungguh digarisbawahi oleh para Apologist dan para Bapa Gereja dalam tulisan-tulisan dan khotbah mereka, di mana dalam mengatakan Misteri Paska, mereka menggunakan teks Kitab Suci yang sama, yang menurut kesaksian St. Lukas (lih. Luk 24:27, 44-47), Kristus yang bangkit sendiri telah menjelaskan kepada para murid. Menurut terang teks-teks ini, perayaan hari Kebangkitan tersebut memperoleh nilai doktrinal dan simbolis yang mampu menyatakan keseluruhan misteri Kristiani dalam segalanya yang baru.
23. Adalah ke-baru-annya [Misteri Kristiani] ini yang dalam katekese abad-abad pertama ditekankan sebagaimana diarahkan untuk menunjukkan keutamaan hari Minggu dibandingkan dengan Sabat Yahudi. Adalah di hari Sabat bangsa Yahudi harus berkumpul di sinagoga dan untuk beristirahat dengan cara yang ditentukan oleh hukum Taurat. Para Rasul, secara khusus St. Paulus, pada awalnya terus hadir di sinagoga sehingga di sana mereka dapat mewartakan Yesus Kristus, menjelaskan “perkataan nabi-yang dibacakan setiap hari Sabat” (Kis 13:27). Sejumlah komunitas [jemaat] melaksanakan Sabat sementara juga merayakan hari Minggu. Namun demikian, segera, kedua hari mulai dibedakan dengan lebih jelas, utamanya sebagai reaksi terhadap tuntutan sejumlah orang Kristen yang berasal dari kaum Yahudi, yang membuat mereka cenderung untuk mempertahankan kewajiban hukum Taurat yang lama …. Pembedaan hari Minggu dari Sabat Yahudi bahkan bertumbuh lebih kuat dalam pemahaman Gereja, meskipun terdapat masa dalam sejarah, ketika, karena kewajiban istirahat Minggu begitu ditekankan, sehingga Hari Tuhan cenderung menjadi mirip dengan hari Sabat. Tambahan lagi, terdapat kelompok-kelompok dalam kalangan Kristen yang melakukan baik Sabat maupun Minggu sebagai “dua hari yang bersaudara.”
24. Perbandingan hari Minggu Kristen dengan hari Sabat menurut visi Perjanjian Lama mendorong besarnya perhatian pandangan-pandangan teologis. Secara khusus, di sana timbul kaitan yang unik antara Kebangkitan dan Penciptaan. Pandangan Kristen secara spontan menghubungkan Kebangkitan Kristus, yang terjadi “di hari pertama minggu itu”, dengan hari pertama dari hari kosmik (lih. Kej 1:1-24) yang membentuk kisah Penciptaan di Kitab Kejadian: hari penciptaan terang (lih. Kej 1:3-5). Kaitan ini mengundang sebuah pemahaman Kebangkitan sebagai awal dari ciptaan yang baru, buah-buah sulung yang tentangnya Kristus yang mulia adalah, “yang sulung dari segala ciptaan” (Kol 1:15) dan “yang sulung dari antara orang mati” (Kol 1:18).
25. Akibatnya, hari Minggu adalah hari di atas semua hari yang lain, yang memanggil umat Kristen untuk mengingat keselamatan yang diberikan kepada mereka dalam Baptisan dan yang telah membuat mereka baru di dalam Kristus. “…Dengan Dia kamu dikuburkan dalam baptisan, dan dalam Dia kamu turut dibangkitkan juga oleh kepercayaanmu kepada kerja kuasa Allah, yang telah membangkitkan Dia dari orang mati… (Kol 2:12; lih. Rom 6:4-6). Liturgi menggarisbawahi dimensi baptis dari hari Minggu, baik dengan menyebutnya sebagai perayaan baptisan- sebagaimana pada Malam Paska- pada suatu hari dalam minggu “ketika Gereja memperingati Kebangkitan Tuhan”, dan dengan menganjurkan pemercikan air suci sebagai ritus tobat yang layak di awal Misa, yang mengingatkan akan saat Baptisan yang melaluinya lahirlah semua kehidupan Kristiani.” (Paus Beato Yohanes Paulus II, Dies Domini, 20-25)
Dasar dari Tradisi Suci: Ajaran para Bapa Gereja
Memang pada awalnya, sejumlah para murid merayakan ibadah pada hari Sabat dan hari Minggu, namun segera di zaman Gereja awal jemaat telah beribadah pada hari Minggu untuk memperingati dan merayakan hari Kebangkitan Kristus, sebagai penggenapan makna hari Sabat Perjanjian Lama. Ibadah pada hari Minggu telah dilakukan oleh jemaat perdana, sebagaimana diketahui dari tulisan-tulisan para Bapa Gereja, sebagaimana juga disebutkan dalam Dies Domini:
1. St. Ignatius dari Antiokhia (35-107)
Dalam suratnya kepada jemaat di Magnesia, St. Ignatius mengatakan: “Jika mereka yang hidup di keadaan terdahulu harus datang menuju pengharapan yang baru, dengan tidak lagi menerapkan hari Sabat tetapi melestarikan Hari Tuhan, [yaitu] pada hari hidup kita telah muncul melalui Dia dan kematian-Nya …., rahasia/ misteri itu, yang darinya kita menerima iman kita, dan di dalamnya kita berteguh agar dapat dinilai sebagai para murid Kristus, Pemilik kita satu-satunya, bagaimana mungkin kita lalu dapat hidup tanpa-Nya, sedangkan faktanya, para nabi juga, sebagai para murid-Nya di dalam Roh Tuhan, menantikan Dia sebagai Pemilik [mereka]?” (St. Ignatius, To the Magnesians 9, 1-2: SC 10, 88-89.)
2. St. Yustinus Martir (150-160)
“Dan pada hari yang disebut Minggu, semua yang hidup di kota maupun di desa berkumpul bersama di satu tempat, dan ajaran-ajaran para rasul atau tulisan- tulisan dari para nabi dibacakan, sepanjang waktu mengijinkan; lalu ketika pembaca telah berhenti, pemimpin ibadah mengucapkan kata- kata pengajaran dan mendorong agar dilakukannya hal- hal yang baik tersebut. Lalu kami semua berdiri dan berdoa, dan seperti dikatakan sebelumnya, ketika doa selesai, roti dan anggur dan air dibawa, dan pemimpin selanjutnya mempersembahkan doa- doa dan ucapan syukur… dan umat menyetujuinya, dengan mengatakan Amin, dan lalu diadakan pembagian kepada masing- masing umat, dan partisipasi atas apa yang tadi telah diberkati, dan kepada mereka yang tidak hadir, bagiannya akan diberikan oleh diakon. Dan mereka yang mampu dan berkehendak, memberikan (persembahan) yang dianggap layak menurut kemampuan mereka, dan apa yang dikumpulkan oleh pemimpin, ditujukan untuk menolong para yatim piatu dan para janda dan mereka yang, karena sakit maupun sebab lainnya, hidup berkekurangan, dan mereka yang ada dalam penjara dan orang asing di antara kami, pendeknya, ia (pemimpin) mengatur [pertolongan bagi] semua yang berkekurangan. Tetapi hari Minggu adalah hari di mana kami mengadakan ibadah bersama, sebab hari itu adalah hari yang pertama, yaitu pada saat Tuhan, …. telah menciptakan dunia; dan Yesus Kristus Penyelamat kita pada hari yang sama telah bangkit dari mati. Sebab Ia telah disalibkan pada hari sebelum hari Saturnus (Sabtu); dan pada hari setelah hari Saturnus itu, yaitu hari Minggu, setelah menampakkan diri kepada para rasul dan murid-Nya, Ia mengajarkan kepada mereka hal- hal ini…..” (St. Justin, First Apology, ch. 67)
3.Teks Didascalia (abad ke-3)
“Tinggalkan segala sesuatu pada Hari Tuhan…, dan berlarilah dengan rajin kepada Ibadahmu, sebab itu adalah pujian bagi Tuhan. Jika tidak, dalih apakah yang mereka buat di hadapan Tuhan, mereka yang tidak bersekutu pada Hari Tuhan untuk mendengarkan sabda kehidupan dan makan santapan rohani yang bertahan selamanya?” (Didascalia, II, 59, 2-3: ed. F. X. Funk, 1905, pp. 170-171.)
4. Pernyataan para martir di zaman Diocletian (sekitar tahun 303)
Di zaman penganiayaan Diocletian di sekitar tahun 303, perkumpulan jemaat dilarang dengan keras, namun banyak di antara mereka dengan berani menentang dekrit kerajaan Roma, dan menerima kematian daripada kehilangan kesempatan mengikuti perayaan Ekaristi pada hari Minggu, sebagaimana disebutkan oleh St. Yustinus sebagai “Ibadah Minggu/ the Sunday Assembly“. Inilah yang terjadi pada para martir di Abitinam di Prokonsular Afrika, yang menjawab demikian kepada para penganiaya mereka: “Tanpa takut apapun kami merayakan Perjamuan Tuhan, sebab hal itu tak dapat dilewati, itu adalah hukum kami; Kami tak dapat hidup tanpa Perjamuan Tuhan.” Salah satu dari para martir itu mengatakan, “Ya, saya pergi ke Ibadah, dan merayakan Perjamuan Tuhan, dengan saudara-saudariku, sebab aku seorang Kristen.” (Acta SS. Saturnini, Dativi et aliorum plurimorum Martyrum in Africa, 7, 9, 10: PL 8, 707, 709-710.)
5. St. Basil (329-379)
St. Basilus menjelaskan bahwa hari Minggu melambangkan hari yang sungguh-sungguh satu-satunya yang akan sesuai dengan saat ini, suatu hari tanpa akhir yang tidak mengenal senja maupun pagi, suatu masa yang tak akan punah, yang tak akan menjadi tua; Minggu adalah nubuat kehidupan tanpa akhir yang memperbarui pengharapan umat Kristen dan menguatkan mereka di sepanjang jalan mereka. (Cf. St. Basil, On the Holy Spirit, 27, 66: SC 17, 484-485. Cf. also Letter of Barnabas 15, 8-9: SC 172, 186-189; St. Justin, Dialogue with Trypho 24; 138: PG 6, 528, 793; Origen, Commentary on the Psalms, Psalm 118(119), 1: PG 12, 1588.)
6. St. Hieronimus (347-420)
“Sunday is the day of the Resurrection, it is the day of Christians, it is our day, Hari Minggu adalah hari Kebangkitan [Kristus], hari itu adalah hari umat Kristen, itu adalah hari kita.” (St. Jerome, In Die Dominica Paschae II, 52: CCL 78, 550.)
7. St. Agustinus (354-430)
St. Agustinus, juga mengajarkan tentang hari Minggu sebagai Hari Tuhan, sebagai berikut: “Oleh karena itu, Tuhan juga telah menempatkan meterai-Nya pada hari-Nya, yang adalah hari ke-tiga setelah Sengsara-Nya. Namun demikian, dalam siklus mingguan, hari itu [Minggu] adalah hari ke-delapan setelah hari ke-tujuh, yaitu hari setelah hari Sabat, dan hari yang pertama dalam minggu.” (St. Augustine, Sermon 8 in the Octave of Easter 4: PL 46, 841.)
Dalam pengajarannya tentang akhir zaman, yang menggenapi simbolisme akhir dari hari Sabat, St. Agustinus menyimpulkan hari akhir itu sebagai, “kedamaian dari ketenangan, kedamaian Sabat, sebuah kedamaian tanpa senja.” (St. Augustine, Confession, 13, 50: CCL 27, 272.) Dengan merayakan hari Minggu, baik sebagai hari pertama dan hari kedelapan, umat Kristiani diarahkan kepada tujuan akhir kehidupan kekal. (lih. St. Augustine, Epistle. 55, 17: CSEL 34, 188)
Maka menurut Paus Yohanes Paulus II, mengutip pengajaran para Bapa Gereja di atas: “Maka, lebih dari “penggantian” bagi hari Sabat, hari Minggu adalah penggenapannya, dan dalam arti tertentu adalah kelanjutannya dan ekspresi yang penuh dalam pengungkapan sejarah keselamatan menurut ketentuan, yang mencapai puncaknya di dalam Kristus.” (Paus Yohanes Paulus II, Surat Apostolik, Dies Domini, 59). Tak mengherankan jika Konsili-konsili para Uskup pun menetapkan bahwa hari Minggu adalah hari Ibadah bagi umat Kristen, dimulai dari Konsili Elvira (300), Konsili Laodicea (abad ke-4), Konsili Orleans (538).
Dasar dari ajaran Magisterium Gereja Katolik
Berikut ini adalah apa yang diajarkan oleh Katekismus Gereja Katolik tentang hari Sabat dan Hari Tuhan:
KGK 2168 Perintah ketiga dari dekalog menekankan kekudusan Sabat. “Hari yang ketujuh haruslah ada sabat, hari perhentian penuh, hari kudus bagi Tuhan” (Kel 31:15).
KGK 2169 Dalam hubungan ini, Kitab Suci mengenangkan perbuatan penciptaan: “Sebab enam hari lamanya Tuhan menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya, dan Ia berhenti pada hari ketujuh; itulah sebabnya Tuhan memberkati hari Sabat dan menguduskannya” (Kel 20:11).
KGK 2170 Alkitab melihat dalam hari Tuhan juga satu peringatan akan pembebasan Israel dari perbudakan di Mesir: “Sebab haruslah kau ingat, bahwa engkau pun dahulu budak di tanah Mesir dan engkau dibawa keluar dari sana oleh Tuhan, Allahmu, dengan tangan yang kuat dan lengan yang teracung; itulah sebabnya Tuhan, Allahmu, memerintahkan engkau merayakan hari Sabat” (Ul 5:15).
KGK 2171 Allah telah percayakan Sabat kepada Israel supaya ia mematuhinya sebagai tanda perjanjian yang tidak dapat diputuskan (Bdk. Kel 31:16). Sabat itu untuk Tuhan; ia telah dikhususkan dan ditahbiskan untuk memuja Allah, karya penciptaan-Nya dan karya-karya penyelamatan-Nya untuk Israel.
KGK 2172 Perbuatan Allah adalah contoh untuk perbuatan manusia. Allah berhenti pada hari ketujuh dan “beristirahat” (Kel 31:17). karena itu, manusia harus berhenti pada hari ketujuh dan orang lain, terutama orang miskin dapat “melepaskan lelah” (Kel 23:12). Sabat menghentikan sebentar pekerjaan sehari-hari dan memberi istirahat. Itulah hari protes terhadap kerja paksa dan pendewaan uang (Bdk. Neh 13:15-22; 2 Taw 36:21).
KGK 2173 Injil memberitakan kejadian-kejadian, di mana Yesus dipersalahkan karena Ia melanggar perintah Sabat. Tetapi Yesus tidak pernah melanggar kekudusan hari ini (Bdk. Mrk 1:21; Yoh 9:16). Dengan wewenang penuh Ia menyatakan artinya yang benar: “Hari Sabat diadakan untuk manusia, bukan manusia untuk hari Sabat” (Mrk 2:2). Dengan penuh belas kasihan Kristus menuntut hak, supaya melakukan yang baik daripada yang jahat dan menyelamatkan kehidupan daripada merusakkannya pada hari Sabat (Bdk. Mrk 3:4).. Hari Sabat adalah hari Tuhan yang penuh kasih dan penghormatan Allah (Bdk. Mat 12:5; Yoh 7:23). “Jadi Anak Manusia adalah juga Tuhan atas hari Sabat” (Mrk 2:28).
KGK 2174 Yesus telah bangkit dari antara oang mati pada “hari pertama minggu itu” (Mat 28:1; Mrk 16:2; Luk 24:1; Yoh 20:1). Sebagai “hari pertama”, hari kebangkitan Kristus mengingatkan kita akan penciptaan pertama. Sebagai “hari kedelapan” sesudah hari Sabat Bdk. Mrk 16:1; Mat 28:1, ia menunjuk kepada ciptaan baru yang datang dengan kebangkitan Kristus. Bagi warga Kristen, ia telah menjadi hari segala hari, pesta segala pesta, “hari Tuhan” [he kyriake hemera, dies dominica], “hari Minggu”.
“Pada hari Minggu kami semua berkumpul, karena itulah hari pertama, padanya Allah telah menarik zat perdana dari kegelapan dan telah menciptakan dunia, dan karena Yesus Kristus. Penebus kita telah bangkit dari antara orang mati pada hari ini” (Yustinus, apol. 1,67).
KGK 2175 Hari Minggu jelas berbeda dari hari Sabat, sebagai gantinya ia – dalam memenuhi perintah hari Sabat – dirayakan oleh orang Kristen setiap minggu pada hari sesudah hari Sabat. Dalam Paska Kristus, hari Minggu memenuhi arti rohani dari hari Sabat Yahudi dan memberitakan istirahat manusia abadi di dalam Allah. Tatanan hukum mempersiapkan misteri Kristus dan ritus-ritusnya menunjukkan lebih dahulu kehidupan Kristus Bdk. 1Kor 10:11.
“Kalau mereka yang berjalan-jalan di dalam kebiasaan lama sampai kepada harapan baru dan tidak lagi menaati hari Sabat, tetapi hidup menurut hari Tuhan, pada hari mana kehidupan kita juga diberkati melalui Dia dan kematian-Nya… bagaimana kita dapat hidup tanpa Dia?” (Ignasius dari Antiokia, Magn. 9, 1).
KGK 2176 Perayaan hari Minggu berpegang pada peraturan moral, yang dari kodratnya telah ditulis dalam hati manusia: memberikan kepada Allah “satu penghormatan yang tampak, yang resmi dan yang teratur sebagai peringatan akan perbuatan baik dan umum, yang menyangkut semua manusia” (Tomas Aqu., Summa Theology. 2-2,122,4). Perayaan hari Minggu memenuhi perintah yang berlaku dalam Perjanjian Lama, yang mengambil irama dan artinya di dalam perayaan setiap minggu akan Pencipta dan Penebus umat-Nya.
Kesimpulan
Dari keterangan tersebut di atas, kita melihat bahwa adalah Allah sendiri, yang menghendaki Gereja-Nya merayakan Hari Tuhan pada hari Minggu. Gereja Katolik, yang berpegang kepada ajaran para Rasul, hanya mengikuti apa yang difirmankan oleh Allah dalam Perjanjian Baru, sebagai penggenapan dan penyempurnaan Perjanjian Lama. Karena makna Kebangkitan Kristus menggenapi makna penciptaan, maka kita tidak lagi merayakan hari terakhir penciptaan, namun hari pertama penciptaan, karena di dalam Kristus, melalui Pembaptisan, umat Kristen dijadikan ciptaan yang baru. Dan karena Kebangkitan Kristus terjadi pada hari Minggu, maka kita merayakan Hari yang menjadikan kita ciptaan baru yang menggabungkan kita menjadi anggota Kristus itu, sebagai Hari Tuhan. Inilah yang menjadi tanda bahwa kita adalah umat Kristen, yaitu kita telah dijadikan anggota Kristus, karena Kebangkitan-Nya.
Maka hal menjadikan hari Minggu sebagai Hari Tuhan, telah lama dilaksanakan oleh jemaat perdana sebelum zaman Konstantin di abad ke-4. Mari kita bersama-sama mensyukuri akan karunia hari Minggu, hari bagi umat Kristen untuk beribadah kepada Tuhan secara khusus. Namun kita juga dipanggil untuk beribadah setiap hari, dengan ucapan syukur dan senantiasa mengingat Yesus Tuhan kita dan mengikutsertakan Dia dalam kehidupan kita sehari-hari. Terpujilah Tuhan.
1. Kis 20:7 membuktikan tidak ada ibadah pada hari Minggu?
Ada sejumlah orang berargumen bahwa Kis 20:7 dan ayat-ayat selanjutnya menunjukkan bahwa pemecahan roti yang dilakukan oleh Rasul Paulus itu adalah acara makan-makan biasa dan bukan ibadah, dan bahwa hal memecah roti itu terjadi dua kali, sebelum Eutikhus jatuh dan dilanjutkan lagi setelah Eutikhus jatuh dan dihidupkan kembali. Benarkah demikian?
Untuk mengetahui apakah pertemuan itu merupakan ibadah atau bukan, kita melihat kepada bahasa asli yang digunakan pada ayat itu:
“Pada hari pertama dalam minggu itu, ketika kami berkumpul untuk memecah-mecahkan roti, Paulus berbicara dengan saudara-saudara di situ, karena ia bermaksud untuk berangkat pada keesokan harinya. Pembicaraan itu berlangsung sampai tengah malam.” (Kis 20:7)
Kata kerja ‘berkumpul‘ yang digunakan di sana adalah ‘synaxis‘ (dari kata synago, serupa dengan kata sinagoga yang artinya adalah tempat berkumpul untuk beribadah). Bagi umat Kristen, kata ‘synaxis‘ mengacu kepada berkumpulnya jemaat untuk merayakan Ekaristi (lih. Kis 11:26;14:27, dst). Kata ‘synaxis’ ini juga digunakan dalam surat-surat Bapa Gereja (lih. Didache, ix, 4; xiv, 1; Epistle of Clement 34.7, St. Ignatius, Letter to the Magnesians 10.3)
Dengan demikian, interpretasi yang mengatakan bahwa ‘memecah-mecah roti’ di sana hanya makan-makan biasa, itu adalah interpretasi pribadi, yang tidak sesuai dengan maksud penggunaan kata tersebut pada zaman itu oleh para Rasul. Sebab jelas kata sebelumnya, yaitu ‘berkumpul/ synaxis‘ itu artinya adalah berkumpul untuk beribadah.
Sedangkan interpretasi bahwa kejadian memecah roti sebanyak dua kali itu juga merupakan kesimpulan yang diambil sendiri, tetapi hal itu tidak disebutkan secara eksplisit dalam perikop tersebut. Yang disebutkan dalam ayat Kis 20:7 adalah bahwa para murid “berkumpul untuk memecah-mecahkan roti” (tidak disebut kapan tepatnya pemecahan roti dilakukan), dengan Paulus yang bertindak sebagai pembicara. Namun demikian, tidak dikatakan di sana bahwa sementara Paulus berbicara, atau sebelum Paulus berbicara mereka sudah memecah-mecah roti. Yang eksplisit dikatakan di sana adalah “Karena Paulus amat lama berbicara, orang muda [Eutikhus] itu tidak dapat menahan kantuknya… ” (ay. 8). Maka jelas ia tertidur bukan karena sedang makan, tetapi karena pembicaraan Paulus yang lama.
Maka yang lebih masuk akal di sini adalah bahwa mereka berkumpul untuk tujuan memecah-mecahkan roti (yaitu beribadah mengenang Perjamuan Tuhan, sebagaimana disebutkan juga dalam Kis 2:42), yang didahului dengan khotbah pengajaran Rasul Paulus. Cara ibadah sedemikian, diajarkan oleh Yesus sendiri kepada dua orang murid-Nya dalam perjalanan ke Emaus, yaitu bahwa pemecahan roti dilakukan setelah pembacaan dan penjelasan Kitab Suci (lih. Luk 24:13-35). Namun kemungkinan karena pengajaran/ khotbah Rasul Paulus itu yang berlangsung amat lama, maka salah seorang pendengarnya, yang bernama Eutikhus, tertidur. Hal ini, walau tidak ideal, mungkin saja terjadi, karena ibadah saat itu berlangsung sampai menjelang tengah malam, dan pembicaraan yang lama, dapat saja membuat orang mengantuk.
Nah maka istilah “memecah-mecahkan roti” yang mengikuti kata ‘synaxis‘ itu maksudnya adalah perayaan Ekaristi (lih. Kis 2:42). Sejujurnya, kata “memecah-mecahkan roti” yang tertulis dalam Injil mempunyai hubungan arti dengan Ekaristi, sebagaimana digambarkan dalam mukjizat pergandaan roti (Mat 14:19, 15:36; Mrk 6:41, 8:6,19; Luk 9:16); Perjamuan Terakhir (Mat 26:26; Mrk 14:22; Luk 22:19); dan Perjamuan Ekaristi (Luk 24:30, 35). Oleh karena itu, kata “memecah-mecahkan roti” dalam Kisah para Rasul (Kis 20:7; 27:35) bukan untuk diartikan sekedar makan-makan biasa. Rasul Paulus juga menggunakan istilah ‘memecah roti’ (the breaking of bread) dalam 1 Kor 10:16, yang berarti ‘persekutuan dengan Tubuh Kristus’.
Dengan menerima bahwa istilah “memecah-mecahkan roti” itu mengacu kepada perjamuan Ekaristi, maka menjadi jelas juga, bahwa perayaan ibadah tersebut terjadi “pada hari pertama dalam minggu” (Kis 20:7). Maka, jika dihitung menurut perhitungan Yahudi, malam itu adalah Sabtu malam, sebab Sabtu malam (di atas jam 6 sore) sudah terhitung sebagai hari pertama minggu. Mengapa saat itu para murid berkumpul pada malam hari untuk merayakan Perjamuan Ekaristi, hal itu telah dijelaskan oleh Paus Beato Yohanes Paulus dalam Surat Apostoliknya, Dies Domini, paragraf #22, silakan klik di sini untuk membacanya.
St. Yohanes Krisostomus (347-407) menjelaskan bahwa bahkan pada saat itu, Jemaat awal telah merayakan Hari Tuhan pada hari pertama minggu, sebagaimana dilestarikan oleh semua umat Kristen sampai sekarang (kecuali denominasi tertentu). Di sini dikatakan bahwa Rasul Paulus memecah-mecah roti (Ekaristi) pada hari Minggu, dan memberi pengajaran kepada jemaat, baik sebelum maupun sesudah perayaan misteri ilahi tersebut (lih. St. Augustine, Epistle. lxxxvi. ad Casulanum.; Ven. Bede, in xx. Act.)
2. Pada abad awal, Rasul Paulus dan para murid masih datang ke sinagoga pada hari Sabat, dan tidak pada hari Minggu?
Pada saat Gereja awal, untuk beberapa waktu para Rasul memang masih datang ke sinagoga pada hari Sabat, sebab tujuan mereka adalah mewartakan Kristus kepada orang-orang Yahudi yang beribadah di sana (lih. Kis 13:14, 42-44; 17:2-3; 18:4). Namun ini tidak berarti bahwa para murid tidak berkumpul pada hari pertama di dalam minggu (yaitu hari Minggu) untuk merayakan Kebangkitan Kristus. Hal ini dijelaskan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam Dies Domini, paragraf 23, silakan klik.
3. 1Kor 16:2 hanya menyangkut tentang pengumpulan sumbangan?
Dikatakan dalam 1 Kor 16:2, demikian: “Pada hari pertama dari tiap-tiap minggu hendaklah kamu masing-masing -sesuai dengan apa yang kamu peroleh- menyisihkan sesuatu dan menyimpannya di rumah, supaya jangan pengumpulan itu baru diadakan, kalau aku datang.”
Berikut ini adalah penjelasan A Catholic Commentary on Holy Scripture, ed. Dom Orchard OSB, dan beberapa sumber lainnya:
Pada saat itu, Paulus mengorganisasikan pengumpulan uang dari Gereja-gereja yang didirikannya di empat propinsi: Akhia, Makedonia, Asia dan Galatia, untuk Gereja di Yerusalem, yaitu jemaat Kristen keturunan Yahudi yang berada dalam keadaan yang lebih miskin. Di sini terlihat bahwa sejak awal Gereja mempunyai perhatian kepada kaum miskin, dan mengajarkan agar mereka yang lebih kuat menolong yang lebih lemah, sebagaimana nyata dalam cara hidup jemaat perdana, di mana mereka dengan rela menjual harta miliknya dan membagi-bagikannya untuk kepentingan bersama (lih. Kis 2:45). Hal memberikan kontribusi/ persembahan kepada kaum miskin ini dilakukan dalam kesatuan dengan ibadah jemaat, dan ini secara eksplisit tertulis dalam tulisan St. Yustinus Martir, tentang perayaan ibadah yang dilakukan pada hari Minggu, sebagaimana dikutip di artikel di atas. Maka, selain untuk meringankan beban jemaat yang miskin, ayat ini juga menunjukkan: 1) bukti kesetiaan Paulus dan semua jemaat yang diajarnya, terhadap ajaran Kristus, untuk merayakan ibadah -termasuk di dalamnya mengumpulkan kolekte/ uang persembahan untuk Gereja di Yerusalem- pada hari Minggu. 2) bahwa Rasul Paulus menghendaki agar jemaat sudah menyisihkan dari rumah, sejumlah persembahan untuk dikumpulkan, dan bukan baru melakukannya pada saat ibadah dilangsungkan.
4. Penentuan Hari Minggu sebagai Hari Tuhan artinya membatalkan kesucian hari Sabat?
Tidak. Ini adalah kesalahpahaman seseorang jika ia tidak membaca Kitab Suci sebagaimana Gereja, menurut ajaran Kristus dan para Rasul, membacanya. Gereja Katolik mengajarkan agar kita membaca Kitab Suci dalam kesatuan: artinya bahwa Perjanjian Lama dibaca dalam terang Perjanjian Baru, dan sebaliknya Perjanjian Baru dalam terang Perjanjian Lama (lih. KGK 129). Artinya, apa yang diajarkan dalam Perjanjian Lama adalah untuk digenapi oleh Kristus dalam Perjanjian Baru. Nah penggenapan ini tidak mengharuskan bahwa pelaksanaannya harus sama persis dengan Perjanjian Lama, sebab jika demikian artinya Perjanjian Lama itu tidak pernah diperbaharui oleh Kristus. Adalah kehendak Allah sendiri, untuk menggenapi Perjanjian Lama di dalam Kristus dalam Perjanjian Baru. Itulah sebabnya sebelum Kristus menyelesaikan misinya di dunia melalui Misteri Paska-Nya, pelaksanaan Sabat masih mengikuti hukum Taurat; tetapi setelah seluruh nubuat para nabi dalam Perjanjian Lama tergenapi dengan Misteri Paska Kristus (sengsara, wafat, kebangkitan dan kenaikan Kristus ke Surga) dan Pentakosta, maka perayaan Hari Tuhan diadakan berdasarkan Misteri Paska itu, yaitu hari Kebangkitan Kristus (hari Paska).
5. Apakah dengan demikian, maka kita mengubah perintah Tuhan di Kel 20:9-11?
Mungkin beberapa pertanyaan berikut ini dapat membantu untuk merenungkan topik ini: (1) Apakah hukuman bagi orang yang tidak menjalankan ibadah pada hari Sabat? Kalau hukumannya neraka, apakah para rasul, jemaat perdana dan seluruh umat Kristen akan masuk ke neraka? (2) Apakah orang yang menjalankan Sabat dengan alasan itu adalah ketetapan Allah di dalam Perjanjian Lama, maka mereka juga menjalankan ketetapan-ketetapan yang lain seperti: ketetapan tentang sistem kurban (Im 1-4), penghapusan dosa untuk dosa-dosa khusus, pelanggaran kepada Tuhan dan sesama (Im 5-6); makanan yang najis dan tidak najis (Im 11); pemurnian setelah melahirkan (Im 12); peraturan yang berhubungan dengan kusta (Im 13-14); peraturan tentang seksual (Im 15); tentang ritual dan persembahan (Im 16-17); tentang larangan pernikahan (Im 18); tentang kehidupan sosial (Im 19) termasuk di dalamnya tidak boleh memakai kain dengan dua bahan; tentang hukuman termasuk hukuman rajam, hukuman mati untuk mengutuk orang tua, perzinahan (Im 20); memelihara kalendar-kalendar yang ditetapkan (Im 23); tentang sabatikal dan yubilium (Im 25); tentang sumpah (Im 27), dll. Secara lebih mendetail, kita dapat melihat beberapa ayat berikut ini:
Dalam Kel 20:10 dikatakan “tetapi hari ketujuh adalah hari Sabat TUHAN, Allahmu; maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan, engkau atau anakmu laki-laki, atau anakmu perempuan, atau hambamu laki-laki, atau hambamu perempuan, atau hewanmu atau orang asing yang di tempat kediamanmu.” (lih. juga Im 23:3) Kalau seseorang mengikuti hukum taurat (tanpa membedakan ada beberapa hukum dalam Perjanjian Lama), apakah orang tersebut tidak bekerja pada hari Jumat Sore – Sabtu Sore? Apakah pembantu di rumah juga tidak bekerja sama sekali?
Dikatakan “Enam hari lamanya boleh dilakukan pekerjaan, tetapi pada hari yang ketujuh haruslah ada perhentian kudus bagimu, yakni sabat, hari perhentian penuh bagi TUHAN; setiap orang yang melakukan pekerjaan pada hari itu, haruslah dihukum mati.” (Kel 35:2; lihat juga Kel 31:14). Apakah ada yang masih menerapkan hukuman mati bagi yang melakukan pekerjaan pada hari Sabat (Jumat sore – Sabtu sore)?
Dikatakan “Janganlah kamu memasang api di manapun dalam tempat kediamanmu pada hari Sabat.” (Kel 35:3) Apakah kita tidak boleh menyalakan penerangan pada hari Sabat?
Dikatakan “Pada hari Sabat: dua ekor domba berumur setahun yang tidak bercela, dan dua persepuluh efa tepung yang terbaik sebagai korban sajian, diolah dengan minyak, serta dengan korban curahannya.” (Bil 28:9). Apakah masih ada yang menerapkan kurban dua ekor domba berumur setahun yang tidak bercela dan dua persepuluh efa tepung sebagai korban sajian setiap hari Sabat?
Sumber : katolisitas