Larantuka - Pengalamanya sebagai kepala keluarga membentuk rasa solidaritas di dalam dirinya.Rasa itu pula yang memacu dia untuk menjadikan rekan-rekan senasibnya sebagai manusia berdaya.
Suatu hari di
Larantuka, NTT. Sebuah rumah dipadati oleh puluhan perempuan, tua dan muda. Mereka tengah berdoa dengan melantunkan kidung-kidung pujian. Tak lama kemudian, acara doa itu pun usai. Beberapa perempuan setengah baya menghampiri seorang perempuan berjilbab. Memeluk dan membanjiri dia dengan doa-doa penuh kasih. Diantara mereka bahkan ada yang menangis haru kala melakukannya.
Nani Zulminarni tak mungkin melupakan peristiwa hampir sepuluh tahun silam itu. Sebagai seorang muslimah, dirinya merasa kaget bercampur haru.Pikirnya, bagaimana bisa mereka mau merayakan ulang tahunnyanya sekaligus mendoakan secara tulus seseorang yang secara formal berbeda keyakinan dengan mereka? "
Tapi itu terjadi, dan saya sadar secara batin kami telah diikat dalam sebuah bentuk persaudaraan yang melampau batas agama dan etnik,"ujar perempuan kelahiran Ketapang, 10 September 1962 itu.
Rasa persaudaraan yang disebarkan oleh Nani berawal dari suatu tawaran di tahun 2000. Saat itu, seorang rekannya di
Komisi Nasional Hak Asasi Perempuan (Komnas Perempuan), meminta tolong kepada dia untuk mendokumentasikan kehidupan para janda korban konflik di seluruh Indonesia. Tapi tidak serta merta Nani menerima permintaan itu. Dia malah berpikir,"Kenapa hanya sekadar mendokumentasikan? Tidak lebih baikkah kalau mereka sekaligus diberdayakan?"
Sebelum mengiyakan permintaan itu, Nani memutuskan untuk turun langsung terlebih dahulu ke beberapa daerah konflik.Di Aceh, Maluku dan Kalimantan Barat,Nani melihat kenyataan para janda korban konflik hidup dalam penderitaan yang berlipat ganda. Selain harus melawan stigma sosial sebagai janda, mereka juga harus menghidupi anak-anaknya,"Belum masalah menghadapi
trauma psikologis akibat pembantaian suami-suami mereka."
Nani sadar akan penderitaan mereka. Sebagai seorang yang baru ditinggal suami, dia pun dapat merasakan beratnya perjuangan mereka mengurus keluarga. "Saya yang memiliki posisi agak baik dibanding mereka saja, merasa begitu berat secara psikologis, hukum dan sosial, apalagi mereka"kata ibu dari tiga orang putera itu.
Hampir di setiap kawasan, Nani menemukan masyarakat selalu menempatkan janda dalam posisi yang sulit. Kontruksi sosial selalu mengaitkan para janda hanya dengan status pernikahan dan nilai-nilai.Sedang posisi mereka yang menjadi pengganti suami dalam menghidupi keluarga malah justru ternafikan."Secara sosial, mereka tidak diakui sebagai kepala keluarga,kendati tiap hari mereka bekerja cari kayu bakar ke hutan dan melaut untuk menghidupi keluarganya,"ujar lulusan Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor (IPB) itu.
Itulah yang membuat Nani memutuskan untuk mengganti istilah "janda" dengan pekka atau perempuan kepala keluarga.Istilah itu diambil Nani dari versi bahasa Inggris "
female headed house hold"."Saya pikir istilah itu 'lebih manusiawi" mengingat istilah janda sudah terlanjur berlumur tinta hitam,susah sekali untuk membersihkannya,"tulis
Nani dalam Jejak Air, sebuah buku biografi politiknya.
Tidak hanya berwacana, pada Desember 2001 Nani meluncurkan sebuah program. Dia memberinya nama Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga atau disingkat Program Pekka.Hingga saat ini Program Pekka sudah mengkoordinasi sekitar 10.000 rumah tangga di 8 provinsi.
Bentuk kegiatan
Program Pekka meliputi berbagai hal. Mulai dari pemberdayaan ekonomi para perempuan kepala keluarga hingga perajutan kembali hubungan sosial di antara para perempuan korban konflik. Caranya antara lain dengan, "Kami membentuk unit-unit usaha, membentuk koperasi dan menjalankan unit simpan pinjam," ungkap Koordinator Nasional Program Pekka tersebut.
Semua aktifitas itu menjadikan para perempuan kepala keluarga menjadi berdaya di masyarakat. Mereka tidak harus tergantung lagi kepada rasa belas kasihan.Otomatis rasa percaya diri pun bertambah. Karena terbiasa diskusi, beberapa perempuan kepala keluarga malah menjadi tokoh di lingkungan masyarakatnya. Bahkan di sebuah desa di
NTT, seorang perempuan yang aktif di
Program Pekka dipercaya masyarakat untuk memangku jabatan Kepala Desa.
Kendati sudah bisa dikatakan berhasil, tidak berarti Nani berpuas diri. Bersama 32 tenaga lapangannya, tak jarang dia masih terjun langsung ke daerah. Menurutnya, ada sebentuk kepuasan spiritual jika dia bertemu dan bisa bertukar pandangan dengan sesama perempuan kepala keluarga."Kami memang sudah seperti saudara yang saling menyintai,"katanya.
Ya, cinta memang telah menyatukan semua. Atas namanya, ribuan perempuan dari ujung Barat hingga Timur merajut sebuah persaudaraan yang indah. Tanpa kecurigaan, tanpa rasa benci. Tanpa batas suku, tanpa batas agama. Seperti yang ditebarkan Nani dan para
perempuan Katholik itu di Larantuka. ( islamindonesia )